
Terlihat jelas, bahwa pasar yang terus berkembang menjadi faktor utama meningkatnya perburuan sirip hiu. Namun akibatnya jelas, ikan hiu hanya dinikmati siripnya saja, dan selebihnya dibuang. Akibat praktek ini sisa pembuangan daging ikan hiu terus terjadi di seluruh dunia, setiap tahun sekitar 200.000 metrik ton bangkai hiu dibuang. Pengambilan sirip ikan hiu, sudah dilarang oleh Undang-Undanga di berbagai negara, namun hal ini masih legal di Indonesia. Apalagi, sekitar 90% kapal nelayan di Indonesia berukuran kecil dan tidak memiliki sarana pendingin yang memadai, membuang secepatnya daging hiu yang tidak dibutuhkan dan hanya menyimpan siripnya, menjadi sesuatu yang jauh lebih efisien.
Puncak ekspor sirip hiu dari Indonesia adalah tahun 1990-an dan kemudian disusul dengan penurunan yang tajam seiring dengan terus berkurangnya populasi ikan hiu. Akibatnya, perburuan yang tadinya bisa dilakukan di berbagai lokasi di Indonesia, kini terus bergeser ke arah timur, menuju ke wilayah Papua dan sekitarnya. Salah satunya adalah perairan Raja Ampat yang memiliki kekayaan hayati yang sangat tinggi di dunia dan menjadi bagian dari Segitiga Terumbu Karang Dunia. Dengan siklus kelahiran sekali dalam setiap dua hingga tiga tahun, tekanan perburuan ini semakin membuat populasi hiu tertekan di kawasan Timur Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar